Pages

Wednesday, January 29, 2014

The Quintessential of Life


Okay, it's been quite a long time I haven't write on this blog, but I'm feeling a sudden urge to burst out what I'm thinking, right here, right now.

Jadi gini,
barusan abis nonton The Secret Life of Walter Mitty. I'm not a huge fan of Ben Stiller, but I will put this movie as one of the most memorable ones I've ever watched.

Bercerita tentang transformasi besar-besaran di sebuah majalah legendaris yang harus menghadapi kenyataan bahwa kini yang dibutuhkan pembaca ialah media yang lebih nyaman digenggam, nyaman dinikmati, dan luwes mengikuti perkembangan era. Media yang membuat para pembacanya tak perlu lagi merogoh kocek demi menikmati hasil perjuangan para jurnalisnya, karena bagi sebagian besar orang, bundelan media cetak hanya akan berakhir menjadi tumpukan sampah, tak peduli seberapa besar tenaga dan pemikiran yang dikerahkan untuk memproduksi satu artikel di dalamnya. There it goes, majalah LIFE pun harus bertransformasi menjadi LIFE Online. Separuh awak perusahaannya pun terpaksa didepak, karena format media cyber yang menawarkan efisiensi tak hanya bagi pembacanya, tapi juga bagi produsennya.

But the most valuable lesson to find in this movie is how to appreciate 
the quintessential of life.


Gw pernah kerja di media yang merasakan betul perubahan di industri ini.
Dulu, mungkin sampai satu dekade lalu, mereka masih yang nomor satu di genre-nya. Even my mom became one of their loyal subscribers. Imagine how happy she was when I told her I was accepted as a journalist of her favorite weekly tabloid. Gw pun pernah jadi pembaca setia mereka, karena apa yang nyokap gw baca, ikut gw baca juga (ada juga cerita tentang gw sering rebutan koran Kompas sama kakek gw waktu gw umur sekitar 4 tahun, I'll tell ya later). Tapi ternyata jaman berubah. Saat gw masuk ke sana, masa-masa kejayaan itu tidak lagi bisa dirasakan.

Berkurangnya sejumlah fasilitas, privilege yang dipangkas, sampai ketidakpuasan dengan manajemen perusahaan menjadi bagian dari transformasi yang dirasakan para senior. Kalo ngobrol-ngobrol sama senior di situ, pasti deh meluncur topik, "Dulu di sini enak, ada ......(isi titik-titik dengan hal-hal sederhana tapi keren, kayak jumlah driver yang lebih dari cukup, etc.)....."



Lalu semua fasilitas itu hilang, dimakan oplah yang terus menurun dan kecenderungan pembaca yang lebih senang membaca berita lewat telepon genggam ketimbang lembaran kertas. Tren media online semakin meningkat tajam. Keluwesannya dalam menggaet pembaca membuat format media online semakin banyak dilirik para pengusaha media. Bos media nggak perlu lagi kuatir sama berapa oplah yang terjual dan berapa yang diretur karena tidak disentuh calon pembaca, pembaca juga nggak perlu keluar duit banyak cuma buat baca puluhan artikel seminggu sekali atau sebulan sekali. Toh, dengan nominal yang sama (jika menghitung jumlah pulsa yang dihabiskan untuk koneksi data), kita bisa membaca berita dengan jumlah yang sama setiap hari.

Tapi apa berarti pengusaha media harus menyerah?
Tidak. Mereka hanya perlu menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan pembaruan.
Bertahan dengan format lama bukan berarti menolak perubahan mentah-mentah.
Just blend it in.
Masih inget film The Artist, kan? Saat seseorang terlalu keras kepala mempertahankan format seninya yang dianggap kuno, isi kepalanya malah akan mati dimakan bentuk baru.

Intinya,
di satu titik dalam kehidupan kita, akan ada momen dimana kita harus
move on.


Move on dari cara lama dan cicipi cara baru, atau membuat formula baru dengan komposisi 30% bahan lama dan 70% bahan baru. Kita tidak perlu orang baru, kita hanya perlu memformat ide-ide usang menjadi inovasi yang mengikuti jaman.

Iya, industri media tidak perlu menggusur muka-muka lama, asalkan mereka mampu mengakui adanya perubahan dan menyuntikkannya ke dalam ide orisinil yang sudah ada di otak mereka sejak lama.

Iya, tidak perlu mendepak wajah-wajah lama,
karena merekalah the quintessential of (media) life.




P.S: Menerima kritik juga salah satu ciri keluwesan dalam berpikir dan menerima ide-ide baru, lho. So if there's any of you, my former working partners, who read this, and you hate me because I expressed what I'm thinking, then you're not moving on :)





Thursday, July 4, 2013

"Verde Esmeralda" by Malana Indonesia

Let me take you to a garden,
a beautiful garden where all you can see is beds of flower bloom.
Pastel colours of the flower petals hide in your eyes
behind a pile of leafs that build a huge green carpet all accross your eyes.

That's how I see in the latest collection of Malana Indonesia in Indonesia Islamic Fashion Fair 2013.
Flower prints, satin, and a huge flower headpiece
are the second main attraction on the show.
It is the choice of colours that will grab your eyes.
The designers of Malana Indonesia chose various gradations of green to dominate the collection.
I actually didn't like the choice because it makes the dresses look heavy and too much clashes between the prints and the color-block.
But I saw a twist in it.
While some other designers use floral prints as their inspiration,
Malana Indonesia pick an unusual element of the flower garden.
It's the green leaf.
The element that left behind by most of the people when they admire the beauty of flowers.

From Malana Indonesia, I learn that inspiration can come from everywhere,
even from something that often got left behind.
    
It's green.

Greeeeen!

Green is everywhere!

A huge headpiece that actually didn't match the dress, but nice try


 
 

"Grecian Memoirs" by Amalina Aman

Inspired by classical Greece and a sweet taste of modern fashion,
Amalina Aman brings her brilliant designs into Indonesia's fashion scheme.
Dominated with soft chiffon and pure white materials,
"Grecian Memoirs" framed the whole old Greek fashion
into a moslemwear collection.
The blinking gold and silver gives a touch of glamour,
and a black dress became the twist.

I love how Aman translates the old Greece fashion into 
some wearable moslem dresses.
The simplicity in it makes the dress less-depressing and more loveable than 
silky-blinking kaftan wore by some Indonesian celebrities on Ramadhan season last year.
Aman's dresses changes my view of kaftan dresses that used to be so boring and too glamorous like what Syahrini and Ashanty shows in front of papparazzi's cameras.

Here's Amalina Aman in Indonesia Islamic Fashion Fair 2013.

The hoodie is sooooo hype right now in Indonesia!

The black dress gives a twist on the whole collection

The softness of the material gives a pretty view when the model swings

These are so old-fashioned choice of colours, actually, but still wearable and loveable.