Pages

Monday, December 6, 2010

Pencerahan Batin di Angkutan Umum Bersama Tuan Profesor

Pagi ini, gw kembali ke rutinitas.
Menjalani minggu ke-4 gw sebagai anak PKL di sebuah tabloid wanita.
Gw akan naik angkot 3 kali dari rumah tante gw di Bekasi ke kantor gw di kawasan Kuningan.
Lalu gw akan nulis 3 berita dari event minggu lalu yang belum sempet gw tulis.
Lalu gw akan menuhin appointment gw sama bang Panji Diksana, fotografer di kantor gw, buat belajar teknik foto studio.
Lalu gw akan pulang, kalau udah nggak ada kerjaan lain.
Mungkin gw akan mampir dulu ke pasar kaget di bawah flyover Kampung Melayu buat beli aksesoris.

Itu yang ada di pikiran gw sebelum berangkat.

Ternyata, ada hal lain yang gw dapat hari ini.

Senin pagi di angkot kali ini berbeda dengan hari-hari lain.
Waktu gw naik, ada seorang bapak tua dengan wajah indo sedang asyik ngobrol sama beberapa penumpang.
Gw nggak bermaksud nguping, tapi gw duduk di depan si bapak itu, suaranya cukup tegas, dan beberapa penumpang lain asyik dengerin obrolan dia.
Lalu gw tertarik untuk terlibat dalam obrolan.
Seorang ibu berseragam PNS di samping gw memanggil dia "Prof".
Kemudian gw tahu, si bapak tua ini memang seorang professor.
Umurnya 89 tahun. Ibunya seorang Jerman, bapaknya asli Jogja.
Dia lahir dengan gelar Raden Mas.
Selain menjadi professor, dulu dia seorang pendeta di Eropa.
Tahun 1959, dia memutuskan untuk menjadi muallaf.
Bukan di Eropa, tapi di Tunisia.
Kalau dia jadi muallaf di Eropa, dia khawatir akan menimbulkan skandal. Apalagi dia seorang professor.
Entah kapan tepatnya dia kembali ke Indonesia, yang jelas masa-masa tuanya di Indonesia dia habiskan untuk berdakwah.
Kini dia ayah dari 8 anak dan kakek dari 14 orang cucu.
Salah satu anaknya berprofesi sebagai ginekolog di Berlin. Dia selalu membawa foto anak-anak dan cucu-cucunya di sela-sela beberapa buku yang juga selalu dibawanya dalam sebuah cotton bag hijau tua bertuliskan "Mahkamah Agung".

Lalu dia bercerita mengapa dia lebih senang naik kendaraan umum.
"Saya senang bertemu dengan Anda-Anda semua," ujarnya.
"Dulu waktu saya naik angkot, saya pernah dicegat anak saya di tengah jalan. Dia memaksa saya untuk pindah ke mobil dia. Saya menolak. Lama-kelamaan anak-anak saya menyerah. Mereka bilang, 'kalau papa masih kuat, tidak apa-apa.'"

"Kalau saya setiap hari naik mobil dari Bekasi ke Jakarta, saya bisa menghabiskan 130 ribu untuk pulang-pergi satu hari. Untuk bensin, tol, dan parkir. Kalau naik kendaraan umum, paling besar saya habiskan 30 ribu. Sisa 100 ribunya jangan disimpan, berikan kepada yang lain."

Lalu dia sadar kalau gw ikut memperhatikan pembicaraannya. Dia pun melanjutkan obrolannya sambil menatap lekat mata gw. Dia kembali cerita tentang masa mudanya di militer, tentang agama, tentang hidup, tentang apa saja di tengah para penumpang lain yang nampak tak begitu peduli.

Gw suka gaya bicaranya. Di satu sisi dia menempatkan dirinya sebagai seorang senior yang telah banyak pengalaman. Namun di sisi lain, dia menempatkan para pendengarnya di posisi terhormat. Dia menyebut seorang bapak berseragam Pemda di sampingnya dengan panggilan Tuan, ibu di samping gw dengan panggilan Nyonya, dan gw -sebagai penumpang terkecil- dipanggilnya Tuan Putri.

"Di sekeliling kita ada banyak malaikat. Malaikat tidak hanya bertugas mencabut nyawa atau mencatat amal kebaikan. Anda-anda semua ini malaikat bagi saya. Tuan Putri ini malaikat bagi saya," paparnya sambil menunjuk ke arah gw dan tersenyum.

"Jangan sering berburuk sangka. Apalagi kalau naik angkot, kita sering lihat penumpang lain berwajah masam. Jangan kita balas dengan wajah masam juga. Kalau sedang antre di kasir swalayan, luangkan waktu untuk mendahulukan orang lain. Waktu barang 3 menit tidaklah lama."

"Jangan dahulukan hawa nafsu. Jangan sombong. Hidup ini indah. Jangan dibikin susah. Jangan bikin masalah."

Sayangnya, obrolan kami harus berakhir.
Dia turun di jalan masuk RS Harum. Dia mau jenguk anaknya di Kodam.
Sebelumnya, gw sempatkan untuk bilang, "This is the most valuable thing I've had in such a public place like this."
Sebelum dia turun, dia ucapkan terima kasih pada para penumpang.
"Aufwiedersehen! Thank you!"
Setelah turun, di depan pintu angkot dia berdiri tegak dan memberi hormat kepada kami.

Angkot kembali sepi.
Para penumpang kembali berwajah masam dan tidak saling bertegur sapa.

Dear Prof, siapapun Anda,
terima kasih telah mengajarkan saya bahwa di ruang sekecil ini, di tempat umum seperti ini, saya bisa mendapatkan begitu banyak pelajaran penting.
Tak hanya mengamati orang-orang dari luar, tapi mencoba menyelami apa yang ada dalam benak mereka.
Betapa kenal-mengenal telah menjadi aktivitas yang mahal.
Inilah, Prof, mengapa saya lebih senang naik kendaraan umum ketimbang menikmati kesendirian di kendaraan pribadi. Kelelahan yang saya tanggung selama naik-turun dan berganti kendaraan, telah terganti dengan kehidupan-kehidupan baru yang saya kenal.

Terima kasih, Prof.
Thanks for showing me that life is worth to fight for.

1 comment: