Pages

Wednesday, October 6, 2010

Ibu Kost dan Tembang Jawa

Sekarang jam 6:36 pagi dan ibu kost gw mulai nyetel tembang Jawa di rumahnya. Kaget campur aneh, karena ini pertama kalinya gw denger tembang Jawa dari rumah ibu kost gw. Biasanya cuma suara anaknya aja yang hobi nyinden di kamar mandi. It was so damn epic. Kalo anaknya mulai nembang dengan suara menggelegar, gw jadi berasa lagi nonton wayang orang. Tapi sekarang, denger tembang Jawa lengkap dengan iringan gamelan dari kaset, gw jadi laper. Maaf bu, prasmanannya sebelah mana? Saya udah salaman ama pengantennya tadi.



I do admit, dengerin tembang gamelan memang punya efek soothing. Diam-diam kadang gw nikmatin waktu dulu nenek gw nyetel lagu-lagu gamelan Sunda waktu gw kecil. Bahkan ikut nyanyi di dalam hati waktu nyokap gw nyetel lagu-lagunya Bungsu Bandung yang konyol.

Tapi kenapa cuma di dalam hati?

Ini yang masih belum sanggup kita lakukan. Mengakui kegemaran kita terhadap hal-hal tradisionil. Mungkin cukup aneh kalau playlist di music player kita berisi lagu-lagu U2, Smashing Pumpkins, Slank, Rolling Stones, dan tiba-tiba terselip satu lagu Talak Tilu dari Bungsu Bandung. Jangankan lagu tradisional, gw aja diketawain waktu temen-temen gw nemu lagu Mencontek dari Padhyangan di sela-sela playlist gw yg kebanyakan lagu jazz dan indie.

Beberapa tahun lalu, nyokap gw pernah kaget waktu dia nemu kaset MP3 lagu-lagu Sunda punya dia di DVD player di kamar gw.

"Kamu dengerin ini?"

Yeah mom. Ade baru aja dengerin lagu Kalangkang. I did it when i miss my childhood friends, karena lagu itu sempet dinyanyiin temen-temen gw waktu acara perpisahan SMP.

Lalu kenapa aneh? Karena kita menganggap hal-hal tradisional sebagai sesuatu yang norak dan konservatif. Kalau kita lewat ke pedagang VCD bajakan, kita akan lihat VCD lagu-lagu daerah yang berjajar rapi, yang mungkin hanya akan berkurang jumlahnya dalam waktu beberapa minggu sekali. Itupun hanya terjual beberapa keping saja. Siapa yang membelinya? Yang jelas bukan anak SMA dengan ringtone lagu Justin Bieber di handphonenya. Tapi coba bandingkan ketika beberapa tahun lalu Vicky Sianipar mengaransemen ulang lagu Piso Surit. Video klipnya laris diputar di MTV. Gw ulangi, di MTV.

Hal ini otomatis menjadi pemicu minimnya peminat lagu-lagu tradisional. Lagu tradisional pun menjadi minoritas di negeri sendiri. Kebanyakan pendengarnya hanya orang-orang tua.

Lalu waktu kita tua nanti, apakah kita juga akan menjadi penggemar lagu tradisional?

Atau tetap memutar lagu-lagu Coldplay yang biasa kita dengar di masa muda kita dulu?

Ada beberapa tempat dimana kita seringkali mendengar lagu-lagu tradisional. Hajatan (nikahan atau sunatan), angkutan umum, dan... errr... i cant find the other. Betapa langkanya kesempatan ini.

Justru karena langka, gw sangat menikmati momen ini. Keep on playing, ibu kost :)

No comments:

Post a Comment